Kasus
Iklan Dan Dimensi Etisnya
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Reklame
sebuah produk perawatan wajah yang terpampang di perempatan Badran, Kota
Yogyakarta, dianggap Badan Pengawas Periklanan Daerah (BPPD Jogjakarta) tak
memenuhi etika pariwara.
Papan reklame itu bergambar wajah
lelaki-dari samping kiri dan kanan-yang banyak goresan dan lubang, seperti
bekas jerawat yang akut. Tulisan pada reklame tersebut, berbunyi, “Akibat
perawatan yang salah, wajahku jadi rusak seperti ini..”
Syamsul Hadi, Ketua BPPD, saat
beraudiensi dengan jajaran Pemkot Yogyakarta, Senin (7/9) mengatakan, BPPD
meminta dukungan Pemerintah Kota Yogyakarta agar media iklan luar ruang yang di
jalanan memenuhi etika pariwara. Yakni etis secara visual, dan materi iklannya
memberi informasi yang benar.
Pihaknya melihat gejala bahwa etika
pariwara mulai dilanggar. Selain reklame di Badran, iklan di media cetak tak
luput disorot, misalnya iklan sebuah produk madu yang diklaim bisa menyembuhkan
penyakit ini-itu. Juga iklan pengobatan tradisional yang bertebaran di koran.
Kata menyembuhkan, misalnya tak dibenarkan dalam etika pariwara Indonesia
(EPI).
Reklame iklan produk perawatan wajah
di Baran itu, menurut Eko (26), pengguna jalan yang juga karyawan swasta di
Yogyakarta, sangat mengganggu mata. “Masa iklan bergambar seperti itu bisa
terpasang di perempatan. Tidak etis sama sekali,” kata Eko.
Menurut Eddy Purjanto, Ketua
Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia Pengurus Daerah (P3I Pengda) DIY
yang juga ikut dalam audiensi, kata menyembuhkan berlebihan dan memberi
informasi yang tidak tepat. Seharusnya, kata yang dipakai adalah membantu
menyembuhkan atau meringankan penyakit tertentu. Selain kata menyembuhkan, EPI
juga tak membenarkan kata terbaik, terunggul, atauterdepan.
“Dalam kasus reklame di Badran, kami
butuh dukungan Pemkot untuk menegur biro iklan yang membuat. Sebab, biro
iklannya dari Jakarta. Dengan dibantu Pemkot, yang rekomendasinya pasti lebih
didengar, biro-biro iklan bisa ditegur,” ujar Syamsul.
Teguran lisan dan tertulis dari
Pemkot, termasuk juga ke media elektronik dan cetak, diyakini bisa menjaga
materi iklan yang dikonsumsi masyarakat terjaga keetisannya, secara isi dan
visual. BPPD, badan yang dibentuk P3I pada Juli 2009 lalu ini, berharap
pemkab-pemkab lain di DIY, nantinya bisa senada dengan Pemkot.
Herry Zudianto, Wali Kota Yogyakarta
berjanji mendukung BPPD. Mencermati isi iklan luar ruang, mestinya juga menjadi
tanggung jawab Pemkot. “Kami menunggu masukan dan pencermatan BPPD. Pemkot akan
melayangkan teguran lisan dan tulisan ke biro-biro iklan, dan meminta mengganti
dengan materi lain,” papar Herry.
Etika
Pasar Bebas
CONTOH KASUS ETIKA BISNIS INDOMIE DI
TAIWAN
Akhir-akhir ini makin banyak
dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang
mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada
pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan
ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang
mengikuti mekanisme pasar.
Dalam persaingan antar perusahaan
terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi
pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi
persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang
ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah
dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan
untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya
bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie
adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat
tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat
(08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk
Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua
supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari
Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat
perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX
DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR,
Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan
tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang
mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk
Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang
praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu
methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan
pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya
ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik
sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga
membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini.
Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga
berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia
yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi,
lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi
batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie
instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging,
ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah
dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang
merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu
kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk
pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang
dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena
standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Kasus
Monopoli
Sindonews.com - PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau
Pelindo II menyatakan keberatan dan siap mengajukan banding terhadap putusan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait kasus monopoli di Pelabuhan
Teluk Bayur, Sumatera Barat.
Putusan KPPU tersebut atas dugaan pelanggaran
Pasal 15 Ayat 2 dan Pasal 19 Huruf (a) dan (b) UU No 5 Tahun 1999, pada Jasa
Bongkar Muat di Pelabuhan Teluk Bayur, yang menyatakan bahwa Pelindo II Cabang
Teluk Bayur telah melakukan monopoli jasa kepelabuhanan.
Banding yang dilakukan Pelindo II
didasarkan pada kepercayaan bahwa perusahaan sesuai statusnya sebagai Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) terus berupaya untuk melakukan efisiensi layanan
logistik nasional. Upaya itu terwujud dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan
perusahaan secara transparan.
Direktur Utama Pelabuhan Indonesia
II, RJ Lino menyatakan bahwa dirinya menghormati putusan lembaga pemerintah
tersebut. Namun tetap menyatakan banding, karena secara bisnis, dalam
pelaksanaan pelayanan di Pelabuhan Teluk Bayur, tidak ada pihak yang dirugikan.
Dengan adanya perjanjian tersebut,
bahkan para pengguna jasa mendapatkan kepastian layanan dan pelayanan menjadi
lebih efisien.
"Pelabuhan Indonesia II
membangun semua fasilitas di pelabuhan serta mengoperasikannya. Atas hal itu,
maka kami tentunya mendapatkan hak atas fasilitas dan pelayanan yang telah
diberikan. Dalam dunia usaha, hal tersebut adalah wajar," kata Lino dalam
rilisnya di Jakarta, Selasa (5/11/2013).
Dia menjelaskan, putusan dari KPPU
ini sifatnya masih belum final dan Pelabuhan Indonesia II mempunyai hak untuk
mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri dan menempuh jalur hukum.
Kasus
Korupsi
Merdeka.com - Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) di Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf mengalami
peningkatan. Lembaga Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) merilis data korupsi
di Aceh pada tahun 2013 meningkat 50 persen dibandingkan tahun 2012 lalu.
Akibatnya, negara mengalami kerugian mencapai Rp 513,5 miliar.
"Pada tahun 2013 ini, angka
korupsi di Aceh meningkat 50 persen dibandingkan tahun 2012 lalu, ini sangat
memprihatinkan," kata Koordinator Mata Alfian kepada wartawan pada
Konferensi Pers, Kamis (16/1) di Kantor MaTA Banda Aceh.
Selama tahun 2013, MaTA berhasil
merangkum ada sembilan modus korupsi yang dilakukan oleh koruptor di Aceh. Di
antaranya, kata Alfian, seperti penyalahgunaan anggaran dan wewenang, adanya
laporan fiktif, anggaran dipotong, proyek ditelantarkan dan bahkan ada juga
yang melakukan mark up, tidak sesuai spek serta adanya penggelapan.
"Dari sembilan modus itu, ada
dua modus yang sangat besar merugikan negara, yaitu mark up dan
penggelapan," ujarnya.
Lanjutnya, untuk mark up saja
terdapat kerugian negara mencapai Rp 261,2 miliar. Sedangkan untuk penggelapan
negara merugi sebanyak Rp 233,6 miliar.
Katanya, lain lagi kasus korupsi
yang masih sedang dalam proses penanganan oleh pihak kepolisian. Sedikitnya,
ada 26 kasus korupsi yang belum dapat ditetapkan kerugiannya.
Oleh karenanya, Alfian mendesak
pihak berwajib, kepolisian, jaksa agar bisa bekerja cepat untuk membongkar
mafia korupsi yang ada di Aceh. Pasalnya, korupsi di Aceh tahun ke tahun terus
terjadi peningkatan dan ini akan berbahaya terhadap perampokan uang negara.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar